Serententan
skenario film, sudah di lampaui oleh Salman Aristo. Sekarang melalui Satu Hari
Nanti, Salman ingin mempersembahkan skenario yang langsung ia sutradarai
sendiri. Berkisah tentang sepasang kekasih, Bima dan Alya, yang sedang belajar
memaknai arti kedewasaan. Film yang disengaja berlabel 21+ ini, berlatarkan di
Swiss. Namun walaupun memiliki batasan cakupan penonton, film ini ternyata
mampu merangkul jumlah penonton yang lumayan di pemutaran perdananya. Film ini
juga sempat di screening pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017. Lalu
sejauh manakah Satu Hari Nanti bercerita?
|POSTER & TRAILER| Menapilkan
potongan wajah ke empat tokoh utama, Bima, Alya, Din, dan Chorina. Berlatarkan
pemandangan pengunungan di Swiss. Dengan menggunakan tone warna yang berbeda
namun dengan satu kesamaan, salju bertebaran. Setiap tokoh memiliki ekspresinya
masing-masing, yang sedikit banyak memberi gambaran terhadap karakter mereka.
Poster yang tak cukup powerfull. Masih bisa dikonsep dan dikerjakan lebih baik
lagi.
Teaser yang cukup menampilkan dialog-dialog 'berani'. Dimunculkan pula visual Swiss yang menawan. Walaupun di tengah teaser sampai selesai, hanya diisi cuplikan gambar-gambar yang di gabung saja. Cukup untuk menggelitik rasa penasaran penonton.
|CERITA| Satu Hari Nanti memang wajar
untuk di tampilkan dalam ranah penonton 21+. Selain adegan-adegan didialamnya
yang terdaftar dalam kualifikasi usia dibawahnya, film ini memang butuh
bercerita dengan cara seperti itu. Jika dipaksakan ‘menurunkan’ batas usia,
pesan yang disampaikan juga akan berbeda. Termasuk pemilihan Swiss sebagai
latar tempat, tak sekedar mengumbar keindahan ‘luar negeri’, namun juga jadi
motive yang tepat untuk cerita yang dibawakan.
Satu Hari
Nanti bukanlah film yang berambisius menggebu-gebu. Sedari awal, hingga selesai
film tak ada suatu lonjakan emosi yang terlalu naik-turun. Namun Satu Hari
Nanti selalu menyajikan hal yang menarik, sehingga penonton masih terus betah
duduk menonton sajian drama 122 menit ini. Setelah lampu di dalam bioskop
menyala, penonton dibuat untuk merenung, sejauh mana tingkat kedewasaan kita.
Satu Hari Nanti menyampaikan pesan kedewasaan, secara ‘dewasa’. Bukan soal
adegan, namun soal penyampaian.
|VISUAL| Sepanjang film, banyak
establish yang menunjukan panorama Swiss. Ini menjadi suatu treatment
tersendiri untuk memberikan ketenangan pada penonton. Ketenangan ini memberikan
jeda penonton untuk sedikit merenung atas apa yang barusan terjadi di film. Ini
menyenangkan. Sehingga penonton bisa kembali fokus untuk melanjutkan kisah
berikutnya.
|AUDIO| Film-film yang terseleksi
festival, sekelas JAFF seperti Satu Hari Nanti ini, pasti juga memberikan
perhatian khusus pada audio, khususnya foley. Banyak film berlomba-lomba untuk
membuat visual yang jernih, cantik, dan menawan, namun tak banyak yang menilik
sampai ke detail audio. Padahal visual maupun audio adalah elemen yang tak
dapat dipisahkan dari sebuah film. Nah, di film ini, foley kita bisa nikmati
dengan renyah. Suara lipatan-lipatan kertas, gelas yang diletakkan dimeja, dan
lainnya.
|ACTING| Adinia Wirasiti seperti
biasanya mampu memberikan ekspresi yang berubah drastis secara cepat namun
natural, dan Alya memang butuh sosok seperti Adinia. Sekali lagi, Adinia
menyajikan akting yang menawan. Ringgo yang terbiasa main di film comedy, ya
walaupun karakternya disini cukup konyol juga, namun kali ini dia berperan diluar
zona nyamannya, dan it was good! Deva Mahenra pun begitu. Melihat dia berperan
sebagai Bima, ternyata dia bisa juga bermain seperti itu, dan natural juga.
Ayushita pun juga selalu menampilkan akting yang asik dan natural.
|KESIMPULAN| Sebagai sebuah drama dengan
kisah yang dewasa, Satu Hari Nanti mampu menyajikan konflik hingga
penyelesaiannya secara dewasa. Ketenangan film ini, juga turut berkontribusi
dalam menyalurkan pesan secara nyaman. Ditambah gelaran teknis yang digarap tak
main-main, membuat Satu Hari Nanti, sayang untuk dilewatkan. #BanggaFilmIndonesia
keren Blognya
ReplyDelete